Senin, 04 Oktober 2010

Membangun Konsep Diri yang Alkitabiah

I. Pendahuluan

Seorang yang bernama Jeff menulis surat kepada temannya, “Saya menulis kepadamu karena saya sendirian dan bingung. Saya merasa bahwa kehidupan saya tidak berharga untuk dijalani. Saya menangisi diri saya setiap tidur malam. Kadang-kadang saya berharap mati saja.”

Jodi Foster, aktris film ternama, pernah menceritakan masalah serupa yang dialami seorang teman aktrisnya. Dalam sebuah wawancara, Jodi mengatakan, “Hal yang paling konyol tentang teman saya adalah bahwa ia adalah salah satu gadis tercantik di dunia, tetapi ia merasa bahwa ia benar-benar buruk; ia menganggap dirinya aneh. Itulah sebabnya ia tidak bisa mempercayai siapa pun yang mengatakan mencintainya. Ia seolah-olah mengatakan, “Tuhan, jika Engkau mencintai aku, Engkau pasti bodoh sekali.”

Dua kisah di atas adalah contoh masalah konsep diri. Jeff merasa hidupnya tidak berharga dan teman Jodi meganggap dirinya aneh padahal tidak demikian. Seringkali kita tidak bisa menerima diri kita kemudian kita ingin menjadi seperti orang lain.

Memiliki konsep diri yang benar sangatlah penting karena orang dengan konsep diri yang positif dan sehat, cenderung untuk berada di depan dalam perlombaan kehidupan. Konsep diri kita berpengaruh besar terhadap kesejahteraan emosional dan spiritual kita. Kita cenderung bertindak berdasarkan gambaran diri kita. Jika kita tidak menyukai diri kita kita menganggap orang lain juga tida suka diri kita. Hal ini juga mempengaruhi kehidupan sosial, prestasi dan hubungan kita dengan orang lain.[1]

Orang yang merasa dirinya berharga juga akan merasa bahwa mereka adalah orang penting. Mereka percaya bahwa mereka berarti, bahkan merasa bahwa dunia adalah sebuah tempat yang lebih baik karena mereka berada di sana. Orang-orang seperti ini bisa berinteraksi dengan orang lain dan menghargai perasaan berharga mereka juga. Mereka memancarkan harapan, kebahagiaan dan kepercayaan. Mereka menerima diri sendiri sebagai hal yang menyenangkan hati Allah. Mereka percaya bahwa diri mereka dikasihi, berharga dan kompeten sebagai ciptaan Tuhan; walaupun pada hakikatnya berdosa, namun sudah diampuni dan berdamai kembali dengan Allah untuk menjadi pribadi sebagaimana yang Ia kehendaki.[2]

Konsep diri yang tidak memadai menyita energi dan kekuatan kita untuk berhubungan dengan orang lain karena energi kita terhisap oleh ketidakmemadaian kita sendiri. Hal ini khususnya terjadi saat kita ada di tengah-tengah orang yang mengingatkan kita terhadap kelemahan kita. Dalam situasi seperti ini, kita sangat sadar diri sehingga kita tidak dapat memberi perhatian yang cukup kepada orang lain. Akibatnya, kita mungkin dianggap tidak peduli atau sombong. Perasaan minder akan menghambat kita untuk memberikan kasih dan perhatian kepada orang lain.

Orang-orang dengan citra diri yang lemah mengandalkan pendapat, pujian atau kritik orang lain sebagai faktor yang menentukan bagaimana mereka akan merasa atau berpikir tentang diri mereka sendiri. Orang-orang yang memiliki pemahaman yang buruk terhadap harga dirinya adalah budak pendapat orang lain. Mereka tidak bebas menjadi diri mereka sendiri.

Orang yang merasa diri tak berharga akan merasa takut bahwa mereka akan diperdaya, ditolak, dan diremehkan dalam kehidupan. Namun dengan mengkhawatirkan hal yang paling buruk itu, mereka justru menciptakan apa yang mereka takuti. Mereka terperangkap ke dalam perilaku yang menghancurkan diri sendiri dan bersikap serba curiga. Mereka berusaha untuk dapat diterima padahal mereka sendiri tidak percaya bahwa mereka layak diterima.[3]

Dari uraian di atas semestinya kita sadar bahwa konsep diri yang salah sangat membahayakan hidup seseorang, karena itu baik pribadi sebagai individu, sebagai pendidik maupun pemimpin, kita harus mengupayakan konsep diri yang benar menjadi milik kita.

Nicholas Kurniawan lebih spesifik menujukan perlunya seorang pelayan Tuhan membangun konsep dirinya dengan baik dan benar.[4] Alasannya adalah: Pertama, pelayan Tuhan adalah manusia baru yang ada dalam proses pertumbuhan dan perubahan menuju keserupaan seperti Kristus. Dalam perjalanan menuju keserupaan itulah, seorang pelayan Tuhan perlu memiliki pengenalan diri yang baik dan benar, sehingga ia tahu sejauh mana ia telah berubah dan bertumbuh dalam hidupnya. Kedua, pelayan Tuhan, dipanggil untuk menjadi saksi Kristus bagi sesamanya. Di dalam panggilan menjadi saksi Kristus ini, tentu saja tercakup tugas dan tanggungjawab untuk membina relasi dengan sesamanya. Dalam membina relasi dengan sesama tidak dapat dilepaskan dari pengenalan dan penerimaan dirinya sendiri. Jika seseorang dapat mengenal dan menerima dirinya sendiri dengan baik, maka ia pun mengenal dan menerima sesamanya dengan baik. Dengan demikian, membangun konsep diri yang baik dan benar sangat diperlukan untuk membina relasi dengan sesama, demi makin terwujudnya peran pelayan Tuhan sebagai saksi Kristus yang hidup. Ketiga, pelayan Tuhan yang konsep dirinya masih keliru berpotensi menghadapi problem-problem pribadi yang menghalanginya untuk bertumbuh dan berbuah. Misalnya: mengasihani diri sendiri, minta dikasihani dan diperhatikan orang lain, mudah kuatir dan tertekan, mudah curiga, depresi serta sikap menarik diri dari pengenalan (anti sosial).

Paper ini mencoba untuk memaparkan konsep diri yang keliru dan yang benar dan bagaimana membangun konsep diri yang benar tersebut. Kiranya paper ini dapat menjadi masukan dalam memenuhi kerinduan kita menjadi pribadi yang menyenangkan Allah dan manusia.

II. Definisi

Manusia mempersepsi dirinya. Kita menjadi subyek dan obyek persepsi sekaligus. Menurut Charles Horton Cooley, kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain: dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking-glass self; seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu. Dengan mengamati diri, kita mendapatkan gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri.[5]

William D. Brooks: Konsep diri adalah pandangan dan perasaaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologis, sosial dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian Anda tentang diri Anda. Jadi konsep diri meliputi apa yang Anda pikirkan dan apa yang Anda rasakan tentang diri Anda.[6]

Anita Taylor mendefinisikan konsep diri sebagai “all you think and feel about you, the entire complex of beliefs and attitudes you hold about yourself.”[7]

Menurut Nicholas, konsep diri adalah kesatuan susunan persepsi-persepsi dan pandangan individu menurut dirinya sendiri. Persepsi itu dapat terbentuk dari pengetahuan tentang hal-hal yang terkait dan pengalaman pribadi yang dimiliki orang tersebut.[8]

Konsep diri bagaikan seperangkat lensa yang kita gunakan untuk memandang realitas. Berdasarkan apa yang kita lihat melalui lensa-lensa tersebut, kita memilih perilaku yang kita anggap cocok untuk situasi tertentu. Definisi sebenarnya menurut Alkitab: Konsep diri yang sehat adalah “memandang diri Anda sebagaimana Allah memandang Anda – tidak lebih tidak kurang. Dengan perkataan lain, konsep diri yang sehat berarti memiliki pandangan yang realistis tentang diri kita dari perspektif Allah, sebagaimana kita digambarkan di dalam Firman-Nya. “Tidak lebih tidak kurang” artinya orang tidak boleh memandang rendah diri sendiri (kerendahan hati yang keliru). Apa yang kita perlukan adalah pandangan yang realistis dan sesuai dengan Alkitab. [9]

III. Konsep Diri yang keliru

Ada berbagai macam konsep diri yang keliru. Konsep diri yang salah akan mengakibatkan seseorang menjalani kehidupan ini dengan kegalauan, rasa cemas dan menjadi bukan dirinya yang sesungguhnya. Konsep diri yang dibangun secara mengkristal akan mengakibatlkan kerapuhan diri yang terus menenggelamkannya pada pusaran kepura-puraan. Menjadi diri yang bermuka dua atau mungkin menjadi pribadi yang tak menentu arah langkahnya.

Tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri yang negatif:[10]

  1. Ia peka pada kritik: orang ini sangat tidak tahan kritik yang diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini, koreksi seringkali dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya dan menghindari dialog yang terbuka.
  2. Responsif sekali terhadap pujian. Walaupun ia mungkin berpura-pura menghindari pujian, ia tidak dapat menyembunyikan antusiasmenya pada waktu menerima pujian.
  3. Hiperkritis terhadap orang lain. Ia selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apa pun dan siapa pun. Mereka tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain.
  4. Cenderung merasa tidak disenangi orang lain. Ia merasa tidak diperhatikan, karena itulah ia bereaksi pada orang lain sebagai musuh, sehingga tidak dapat melahirkan kehangatan dan keakraban persahabatan.
  5. Bersikap pesimis terhadap kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.

Salah satu akibat dari konsep diri yang lemah dapat dilihat dalam sikap seseorang terhadap dunianya. Orang-orang dengan konsep diri yang tidak sehat memiliki pandangan yang takut, pesimis terhadap dunianya dan terhadap kemampuan mereka untuk menghadapi tantangan-tantangannya. Mereka melihat dunia sebagai ancaman.[11]

Orang-orang seperti itu cenderung menerima apa yang diberikan dunia tanpa menantang atau berusaha mengubahnya. Mereka melihat diri mereka sebagai korban, terperangkap tak berdaya dalam lingkungan yang kejam. Orang-orang ini bahkan tidak menyukai dirinya sendiri. Mereka memiliki kesulitan untuk mengungkapkan betapa buruknya perasaan mereka terhadap diri sendiri.[12]

Orang dengan konsep diri yang buruk sering melakukan apa yang disebut perendahan ganda. Mereka merendahkan diri dengan berharap orang lain akan meninggikan mereka; atau mereka merendahkan orang lain agar bisa meninggikan diri sendiri.[13]

Kita akan melihat empat konsep diri yang keliru:[14]

  1. Perangkap penampilan. Kepercayaan orang-orang ini adalah saya harus memenuhi standar-standar tertentu supaya saya merasa enak dengan diri saya sendiri. Akibatnya adalah takut gagal, perfeksionis, mengejar kesuksesan, memanipulasi orang lain demi kesuksesan, menarik diri dari resiko.
  2. Gila Pengakuan. Kepercayaan orang-orang ini adalah saya harus diakui (diterima) oleh orang-orang tertentu supaya merasa enak terhadap diri saya sendiri. Akibatnya: takut tertolak, berusaha menyenangkan orang lain dengan harga apapun; sangat sensitif terhadap kritik, menarik diri dari orang lain untuk menghindari pencelaan (tidak diakui).
  3. Sikap menyalahkan orang. Kepercayaan orang-orang ini adalah barangsiapa yang gagal (termasuk diri sendiri) tidak layak dikasihi dan pantas dihukum. Akibatnya: takut dihukum, menghukum orang lain, karena kegagalan pribadi menarik diri dari Allah dan orang lain, lari dari kegagalan.
  4. Rasa malu. Kepercayaan orang-orang ini adalah saya sudah bagini. Saya tidak bisa berubah. Saya tidak berpengharapan. Akibatnya: merasa malu, tidak berpengharapan, rendah diri, pasif, kehilangan kreativitas, mengasingkan diri, menarik diri dari orang lain.

IV. Konsep Diri yang Benar

Berbeda dengan orang-orang yang memiliki konsep diri yang negatif, orang-orang yang positif melihat dunia sebagai tantangan untuk dihadapi, sebuah kesempatan untuk melatih kekuatan dan kepercayaan pribadi dalam Kristus. Mereka beranggapan bahwa mereka dapat mengubah dunia melalui Kristus dan bahwa dengan anugerah Allah mereka dapat secara efektif mengubah lingkungan mereka. Mereka percaya bahwa masa depan mereka bersandar pada apa yang dapat dilakukan Kristus melalui diri mereka, bahwa dalam kehidupannya mereka dapat dan seharusnya menghasilkan hal-hal penting bagi keabadian.

Lima tanda orang yang memiliki konsep diri yang positif:[15] Pertama, ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah. Kedua, ia merasa setara dengan orang lain. Ketiga, ia menerima pujian tanpa rasa malu. Keempat, ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak seharusnya disetujui mayarakat. Kelima, ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Tujuh kriteria kematangan menurut Allport tentang sifat-sifat khusus dari kepribadian yang sehat.[16]

  1. Perluasan perasaan diri.

· Mula-mula orang berpusat pada individu kemudian bertumbuh dan semakin luas

· Berinteraksi dan berpartisipasi dengan lingkungan luar. Meluaskan diri ke dalam aktivitas

· Suatu aktivitas harus relevan dan penting bagi diri, dan harus menjadi suatu yang berarti bagi orang lain.

· Kepuasan terhadap suatu pekerjaan, menantang kemampuan, melakukan dengan sebaik-baiknya

· Semakin seseorang terlibat sepenuhnya dengan berbagai aktivitas atau orang atau ide, maka semakin juga dia akan sehat secara psikologis

· Diri menjadi tertanam dalam aktivitas-aktivitas yang penuh arti ini dan menjadi perluasan perasaan diri.

  1. Hubungan diri yang hangat dengan orang-orang lain.

· Kapasitas untuk keintiman, mampu memperlihatkan keintiman terhadap orang tua, anak, partner, teman akrab. Apa yang dihasilkan dari keintiman ini adalah suatu perasaan-perasaan diri yang berkembang baik. Syarat lain untuk keintiman adalah suatu perasaan identitas diri

· Kapasitas untuk perasaan terharu. Tipe kehangatan kedua adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Orang yang sehat memiliki kapasitas untuk memahami kesakitan-kesakitan, penderitaan-penderitaan, ketakutan-ketakutan dan kegagalan-kegagalan yang merupakan ciri kehidupan manusia. Sebagai hasil dari kapasitas untuk perasaan terharu adalah kepribadian yang matang, sabar terhadap tingkah laku orang lain dan tidak mengadili dan menghukumnya. Menerima kesalahan-kesalahan manusia dan mengetahui bahwa dia memiliki kelemahan-kelemahan yang sama.

  1. Keamanan emosional.

· Penerimaan diri dengan menerima semua segi termasuk kelemahan-kelemahan tanpa menyerah secara pasif pada hal tersebut.

· Juga mampu menerima emosi-emosi manusia, mengontrol emosi-emosi sehingga tidak mengganggu aktivitas-aktivitas antar pribadi.

· Sabar terhadap kekecewaan, bagaimana bereaksi terhadap hambatan dari keinginan-keinginan.

  1. Persepsi Realitas.

· Memandang dunia secara obyektif, menerima realitas sebagaimana adanya.

· Berusaha mengubah realitas supaya membuatnya sesuai dengan harapan.

  1. Keterampilan-keterampilan dan tugas-tugas

· Tidak cukup hanya memiliki keterampilan-keterampilan yang relevan, kita harus menggunakan keterampilan-keterampilan itu secara ikhlas, antusias, melibatkan diri sepenuhnya dalam pekerjaan kita

· Orang yang sehat dan matang mengarahkan keterampilan mereka pada pekerjaan mereka

· Dedikasi terhadap pekerjaan ada hubungannya dengan gagasan tentang tanggungjawab dan dengan kelangsungan hidup yang positif

· Pekerjaan dan tanggungjawab memberikan arti dan perasaan kontinuitas untuk hidup. Tidak mungkin mencapai kematangan dan kesehatan psikologis yang positif tanpa melakukan pekerjaan yang penting dan melakukannya dengan dedikasi, komitmen dan keterampilan-keterampilan.

  1. Pemahaman diri.

· Pengenalan diri yang memadai menuntut pemahaman tentang hubungan/perbedaan antara gambar tentang diri yang dimiliki seseorang dengan dirinya menurut keadaan yang sesungguhnya.

· Orang yang sehat terbuka pada pendapat orang-orang lain dalam merumuskan suatu gambaran diri yang obyektif.

· Orang-orang yang memiliki suatu tingkat pemahaman diri (self-objectification) yang tinggi atau wawasan diri tidak mungkin memproyeksikan kualitas-kualitas pribadinya yang negatif kepada orang-orang lain.

  1. Filsafat hidup yang mempersatukan.

· Orang-orang yang sehat melihat ke depan, didorang oleh tujuan-tujuan dan rencana-rencana jangka panjang. Orang-orang ini mempunyai suatu perasaan akan tujuan, suatu tugas untuk bekerja sampai selesai, sebagai batu sendi kehidupan mereka, dan ini memberi kontinuitas bagi kepribadaian mereka.

· Allport menyebut dorongan yang mempersatukan ini “arah”. Arah itu membimbing semua segi kehidupan seseorang menuju suatu tujuan serta memberikan orang itu suatu alasan untuk hidup. Mustahil memiliki suatu kepribadian yang sehat tanpa aspirasi-aspirasi dan arah ke masa depan.

· Nilai-nilai adalah sangat penting bagi perkembangan suatu filsafat hidup yang mempersatukan. Seorang individu dapat memilih di antara berbagai nilai-nilai dan nilai-nilai itu mungkin berhubungan dengan diri sendiri atau mungkin luas dan dimiliki oleh banyak orang lain.

· Suara hati juga ikut berperan. Orang yang sehat berkata, “Saya sebaiknya bertingkah laku begini”. Suara hati yang matang adalah suatu perasaan kewajiban dan tanggungjawab kepada diri sendiri dan kepada orang-orang lain dan mungkin berakar dalam nilai-nilai agama dan etis.

Kedua uraian di atas saya angkat untuk memperlihatkan beberapa hal yang menjadi perhatian kita mengenai pandangan orang tentang konsep diri yang benar sehingga kita bisa membandingkan dengan konsep diri yang Alkitabiah dan bagaimana membangun konsep yang demikian.

V. Membangun Konsep Diri yang Alkitabiah

Membangun konsep diri yang benar merupakan hal yang sangat penting karena hal ini akan membuat seseorang menjalani kehidupan ini dengan mantap, tidak terpengaruh oleh dunia bahkan perkataan-perkataan orang lain.

Bila kita berpijak pada definisi konsep diri adalah “memandang diri Anda sebagaimana Allah memandang Anda – tidak lebih tidak kurang, maka untuk membangun konsep diri yang benar: pertama, kita harus mengenal Allah secara pribadi melalui Yesus Kristus; kedua, kita menyerap karakter Tuhan dan mempelajari Firman-Nya; ketiga, membiarkan orang-orang Kristen lain membantu kita membentuk pemahaman diri.

Pandangan terhadap Allah, terhadap diri kita dan terhadap orang lain, yang didasarkan pada Alkitab dapat menjadi kekuatan pembebas di dalam kehidupan kita. Luka dan sakit hati kita telah dirasakan oleh banyak orang lain. Meskipun perjuangan mungkin berat dan proses penyembuhan terasa melelahkan, namun bila kita berusaha menemukan konsep diri di dalam Allah kita akan menemukannya.

Bagaimana membangun konsep diri berdasarkan Firman Tuhan? Nicholas memberikan dua hal[17]. Pertama, Konsep diri yang seimbang antara keluruhan dan kerendahan. Di satu sisi manusia itu adalah citra yang rendah, hanya tersusun dari debu tanah (Kej. 2:7) dan hanya sebuah citra (image). Namun di pihak lain, gambar itu bukan sembarang gambar tetapi gambar Allah (Kej. 1:27) yang menunjukkan adanya suatu keluhuran (dignity). Manusia Kristen dirancang untuk satu dignity yang bernilai, berharga dan pada akhirnya akan dimuliakan dalam peristiwa pemuliaan. Inilah pengharapan setiap orang Kristen yang seharusnya memberikan:

a. jaminan kepada kita agar tidak terjebak pada salah satu ekstrim superioritas atau inferioritas karena membandingkan diri dengan orang lain

b. jaminan bahwa kita akan mengalami kesempurnaan pada peristiwa pemuliaan

c. jaminan kekuatan agar kita tidak merasa minder karena kelemahan kita dan peringatan agar tidak merasa diri super karena kekuatan kita.

Kedua, konsep diri yang diprakarsai oleh paradigma kasih karunia Allah. Paulus telah berhasil membangun konsep dirinya sesuai dengan ajaran Kristiani yang telah dipelajarinya dan diajarkan kepada jemaat yang ia layani. Ia membangun konsep dirinya dengan menggunakan kasih karunia. Kerapkali ia memandang dirinya sebagai orang berdosa, ia tidak pernah membicarakannya lepas dari kasih karunia. Ia berada dalam proses perubahan dan pertumbuhan menuju keserupaan dengan Kristus. Ia membangun konsep dirinya demi Injil Kristus. Mengabarkan Injil adalah perjuangan utamanya.

Jadi untuk membangun konsep diri berdasarkan Firman Tuhan harus diawali dengan kembali melihat diri dari perspektif Tuhan, yang memandang manusia sebagai makhluk lemah yang dibuat dari debu yang rendah dan tidak berharga, namun dihargai begitu rupa bahkan dijadikan serupa dan segambar dengan Diri-Nya.

Pada bagian konsep diri yang keliru ada empat hal yang dicuatkan. Untuk empat hal konsep diri tersebut, perlu mendapat jawaban dari Tuhan.[18] Pertama, Perangkap penampilan, jawaban Allah adalah Pembenaran. Pembenaran berarti bahwa Allah bukan saja telah mengampuni saya dari dosa-dosa saya, tetapi juga telah memberikan kebenaran Kristus kepada saya. Karena pembenaran, saya mendapatkan kebenaran Kristus, dan oleh karena itu, saya sepenuhnya menyenangkan Bapa (Roma 5:1).

Kedua, Gila Pengakuan, jawaban Allah adalah Rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti bahwa meskipun saya dahulu bermusuhan dengan Allah dan terpisah dari-Nya, sekarang saya telah diampuni dan dibawa ke dalam hubungan yang intim dengan-Nya. Sebagai akibatnya, saya diterima penuh oleh Allah (Kolose 1:21-22).

Ketiga, Sikap menyalahkan orang, jawaban Allah ialah Pendamaian. Pendamaian berarti bahwa oleh kematian-Nya di kayu, Salib Kristus telah memenuhi murka Allah oleh karena itu saya dikasihi oleh Allah. (1Yoh. 4:9-11).

Keempat, Rasa malu, jawaban Allah Kelahiran Baru. Kelahiran Baru berarti saya adalah ciptaan baru di dalam Kristus (Yoh. 3:3-6).

VI. Penutup

Allah menginginkan kita bertumbuh semakin dewasa di dalam pengenalan yang benar akan Dia, Ia mau kita semakin hari semakin bertumbuh menyerupai Kristus (Efesus 4:13-15).

Stephen Tong dalam bukunya mengatakan bahwa yang menjadikan seseorang mahir atau bisa matang jiwanya, paling sedikit ditentukan dua hal yaitu tidak egois dan penuh tanggungjawab. Orang yang penuh tanggungjawab dan tidak mementingkan diri sendiri, tetapi memikirkan orang lain dan bersikap murah hati adalah orang yang dewasa, sekalipun usianya mungkin masih sangat muda. Sebaliknya, sekalipun sudah berusia 70 atau 80 tahun, tetapi di dalam segala hal selalu mementingkan diri sendiri, tidak mau tahu orang lain dan mengerjakan apapun tidak beres, dia masih anak kecil.[19]

Orang-orang yang dewasa membuat keputusan-keputusan, mempunyai pendapat-pendapat, menetapkan nilai-nilai bukan sebagai subyek persetujuan atau ketidaksetujuan dari orangtua atau figur-figur orang tua dan mengadakan konsekwensi-konsekwensi legal untuk tindakan-tindakan mereka. Bersama-sama dengan masa dewasa timbul banyak kebebasan dan tanggungjawab, tetapi tema utamanya adalah orang-orang dewasa tidak memerlukan “izin” dari beberapa orang lain untuk berpikir, merasakan atau bertindak. Dan orang-orang dewasa bertanggungjawab terhadap akibat-akibat dari segala sesuatu yang mereka pikirkan, rasakan dan kerjakan.[20]

Menjadi orang dewasa merupakan suatu proses mencapai kekuasaan atas hidup kita. Orang dewasa tahu apa yang mereka yakini, memikirkan dalam-dalam segala sesuatu bagi diri mereka sendiri, membuat keputusan-keputusan, tidak bergantung pada persetujuan orang lain untuk tetap bertahan, dan memiliki sebuah wilayah atau bidang-bidang keahlian yang sebenarnya. Seseorang mendapatkan satu pengertian dari keberadaannya di sekeliling orang-orang ini yaitu bahwa mereka itu berwenang. Mereka telah menjadi orang-orang yang dewasa.[21]

Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa proses mengembangkan diri menuju konsep diri yang benar itu butuh pengorbanan. Tidak ada suatu tujuan yang mulia dapat diraih dengan instan, apalagi menuju kedewasaan, diperlukan kerja keras. Tony Humphreys mengatakan bahwa merealisasikan diri sejati Anda adalah sebuah perjalanan yang lama, rumit, sulit dan menarik. Disebut perjalanan panjang karena jarak yang Anda tempuh dalam perjalanan mencari diri sejati itu Anda lewati bertahun-tahun–yakni saat Anda menyembunyikan diri.. Perjalanan itu rumit karena mengandung pemahaman dan kasih sayang bagi pelindung kegelapan yang–ketika diperlukan-telah menyembunyikan cahaya Anda. Sebuah perjalanan yang sulit karena mengandung pengungkapan suatu hal yang tersembunyi, dan menyentuh jauh ke dalam hati yang terluka, sakit, malu, terhina, marah, murka, takut dan ngeri. Namun, perjalanan itu pun menarik karena penemuan yang mencengangkan-secara berangsur-angsur–atas diri Anda yang sakral, unik dan berbakat.[22]

Bila kita dengan sabar membiarkan hidup kita dibentuk oleh tangan Tuhan, Sang Kreator itu, maka kita dapat menjadi bejana yang mulia untuk kemuliaan-Nya. Berilah dirimu untuk dibentuk oleh-Nya. Jadilah pribadi-pribadi yang memiliki konsep diri yang benar.


Kepustakaan

Cloud, Henry. Changes That Heal. Malang: SAAT, 2002

Humphreys, Tony. No Limit Bebas menjadi Diri. Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2005

Kurniawan, Nicholas. “Membangun Konsep Diri Berdasarkan Firman Tuhan.” Seminari Alkitab Asia Tenggara Veritas Journal Vol.1/ No. 2 (Malang 2000) 215-222

McGee, Robert S. Pemulihan Gambar Diri. Jakarta: Metanoia, 2000

Narramore, Mark. Menuju Citra Diri Kristus. Jakarta:Bina Communio, 2000

Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993

Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisius, 1993

Tong, Stephen. Seni Membentuk Karakter Kristen. Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993



[1] Mark Narramore, Menuju Citra Diri Kristus. (Jakarta:Bina Communio, 2000) 6.

[2] Narramore, Menuju 6.

[3] ibid 8.

[4] Nicholas Kurniawan, “Membangun Konsep Diri Berdasarkan Firman Tuhan.” Seminari Alkitab Asia Tenggara Veritas Journal Vol.1/ No. 2 (Malang 2000) 215.

[5] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993) 99.

[6] ibid

[7] ibid

[8] N. Kurniawan, “Membangun 216.

[9] Narramore, Menuju 19.

[10]Jalaluddin, Psikologi Kom. 104-105.

[11] Narramore, Menuju 29.

[12] ibid

[13] ibid 33.

[14] Robert S. McGee, Pemulihan Gambar Diri. (Jakarta: Metanoia, 2000)32-33.

[15]Rakhmat, Psikologi Kom. 99-106.

[16]Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan Model-model Kepribadian Sehat. (Yogyakarta: Kanisius, 1993) 30-36.

[17] Nicholas Kurniawan, “Membangun 220-221.

[18] McGee, Pemulihan Gambar 32-33.

[19] Stephen Tong, SeniMembentuk Karakter Kristen. (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993) 108.

[20] Henry Cloud, Changes That Heal. (Malang: SAAT, 2002) 255

[21] ibid 256.

[22] Tony Humphreys, No Limit Bebas menjadi Diri Sendiri. (Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2005) 139.