Senin, 12 November 2012

Manajemen Keuangan Keluarga


  PENDAHULUAN
 Keuangan tidak terlepas dari kehidupan manusia. Hal keuangan punya dampak baik positif maupun  negatif, tergantung bagaimana sikap dan cara kita mengelolanya. Sikap yang salah mengakibatkan kita terjerat bahkan menghancurkan hidup kita. Tak jarang kita juga menjumpai keluarga yang mengalami konflik karena keuangan ini. Konflik dalam keuangan memang tidak menyenangkan, ini dapat mengakibatkan perpecahan, retaknya hubungan pasangan suami istri bahkan menuju perceraian.
Hasil jajak pendapat di Amerika terdapat 56% dari permasalahan perceraian disebabkan oleh adanya konflik keuangan dalam rumah tangga. Oleh karena itu pentingnya calon pasangan suami istri mempersiapkan diri sebelum pernikahan atau di awal memasuki keluarga dalam membicarakan kebijakan mereka dalam hal keuangan.

Sikap dalam penggunaan Keuangan
1.      Allah adalah satu-satunya pemilik harta yang mutlak. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah berasal dari Dia dan kita pergunakan hanya untuk kemuliaan-Nya.
2.      Barang-barang yang ada di dunia ini adalah pinjaman dari Allah. Kita adalah bendahara Allah.
3.      Kita wajib bertanggungjawab kepada-Nya akan penggunaan barang-barang pinjaman tersebut.
4.      Cara menggunakan barang-barang tersebut harus untuk Kerajaan Allah, kasih kepada Allah dan juga kepada manusia.
5.      Harta yang dimiliki harus diperoleh dengan cara yang jujur dan benar di mata Allah

Metode Dalam Pengguaan Keuangan Keluarga
1.      Menyadari semua yang diterima adalah pemberian Tuhan
2.      Mengadakan pembicaraan bersama
3.      Membiasakan berbelanja secara efektif
4.      Hindari berutang atau membeli Secara Kreatif
5.      Menghindari kegemaran berjudi dan permaianan-permainan lain yang sejenis.
6.      Biasakan untuk menyusun Anggaran Belanja
7.      Mempersiapkan hari depan (menabung).

LANGKAH-LANGKAH PRAKTIS MENYUSUN ANGGARAN BELANJA
Menurut Kate Redd, tujuan sebuah keluarga mengatur keuangan adalah untuk membawa keteraturan ke dalam sebuah keluarga agar keluarga tersebut  dapat menikmati sukacita yang sesungguhnya.
Sebelum sebuah keluarga membuat budget, mereka perlu menentukan tujuan dari setiap penggunaan keuangan. Berikut ini ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada setiap pasutri dalam menentukan tujuan tersebut.
1.      Kemanakah tujuan Anda? (Goal-goal)
2.      Dimanakah Anda sekarang? (Analisis)
3.      Bagaimana anda mencapai goal-goal anda? (Rencana-rencana)
Berikut ini langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan dalam merencanakan keuangan dalam keluarga. Pertama, mengetahui dengan pasti jumlah penghasilan tetap keluarga setiap bulan. Kedua, membuat perencanaan anggaran keuangan keluarga. Dalam pembuatan tujuan penggunaan uang maupun budget, bukanlah suatu hal yang mudah. Dibutuhkan kerjasama yang baik antara suami dan istri.
            Langkah-langkah praktis tersebut adalah:
1.      Mencatat pendapatan Keluarga
-          Berapa pendapatan sesungguhnya dari keluarga kita?
Suami
  1. Penghasilan kotor sebulan
  2. Dikurangi pajak penghasilan sebulan
  3. Penghasilan bersih sebulan
  4. Pengurangan lain dalam sebulan
  5. Sisa pendapatan setelah pengurangan

Istri
  1. Pendapatan bersih yang dibawa pulang
  2. Pendapatan lain
Jumlah bersih seluruh pendapatan
2.      Membuat daftar pengeluaran setiap bulan
Daftar Pengeluaran Setiap Bulan
Simpanan
a.       Cadangan
b.      Sasaran Jangka pendek dan panjang
Perumahan
c.       sewa rumah/anggaran pembelian rumah
d.      pajak rumah
e.       asuransi rumah
f.       perbaikan rumah
g.      perlengkapan rumah tangga (air listrik, gas, dll)
Makanan
h.       Beras
i.        Keperluan dapur
j.        Bahan makanan lain
k.      Makan di luar rumah
l.        ……………………
Transport
m.    Bensin
n.      Parkir
o.      Perbaikan kendaraan
p.      Asuransi Kendaraan
q.      Pajak Kendaraan
r.        Kendaraan Umum
s.       …………………
Macam-macam
t.        Pengobatan
u.      Pendidikan
v.      Pakaian
w.    Perawatan
Keterangan: Jumlah pendapatan dan pengeluaran harus sama.

3.      Membuat kartu-kartu Pos Pengeluaran
Contoh Kartu Pos Pengeluaran
Sewa rumah/angsuran pembelian rumah yang harus dilunasi sebesar  Rp. …………..
Harus Lunas pada tanggal : …………………….
Disisihkan setiap bulan sebesar ………………………………………Rp. …………..
Nomor
Tanggal
Disisihkan
Dikeluarkan
Sisa






4.      Mengisi amplop-amplop pengeluaran.
Kita harus membuat amplop-amplop sesuai dengan pengeluran pada anggaran belanja di atas.

BEBERAPA HAL YANG PERLU DIPERTANYAKAN DALAM HAL KEUANGAN KELUARGA
1.      Apakah keduanya akan bekerja untuk memperoleh penghasilan atau salah satu saja yang bekerja.
2.      Siapakah yang akan memegang keuangan keluarga?
3.      Keputusan-keputusan dalam keuangan seperti apakah yang harus didiskusikan bersama? Mana yang tidak perlu?
4.      Kemanakah tujuan Anda? (Goal-goal)
5.      Dimanakah Anda sekarang? (Analisis)
6.      Bagaimana anda mencapai goal-goal anda? (Rencana-rencana)
7.      Apakah prioritas keuangan keluarga? (urutkan)
8.      Bagaimana dengan pengeluaran untuk keluarga dari pihak suami/istri?
9.      Asuransi apa saja yang perlu diikuti?
10.  Apakah ada persembahan yang harus dipersiapkan? Adakah lembaga/organisasi tertentu yang harus didukung?
11.  Bagaimana dengan pengeluaran untuk kebersamaan keluarga?
12.  Bagaimana dengan mempersiapkan pendidikan anak?
13.  Bagaimana pula dengan kerinduan suami/istri dalam melanjutkan pendidikan?
14.  Apakah ada keuangan yang menjadi cadangan untuk hal-hal yang tidak terduga?

PENUTUP
Pasangan suami istri diharapkan dapat melakukan lokakarya yang disarankan dalam hal menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas maupun dalam hal membuat anggaran biaya, kartu pos pengeluaran dan amplop-amplop pengeluaran. (Ada juga contoh lampiran lokakarya).
Untuk menghindari konflik keuangan yang dapat mengarah kepada perceraian maka pasangan suami istri perlu benar-benar mempersipkan diri dalam hal manajemen keuangan. Keuangan keluarga yang dikelola dengan baik dapat menciptakan keharmonisan dan keluarga yang memuliakan Tuhan. Amin.

Kepustakaan

Ishak, Yahya. “Bimbingan Pastoral secara Pendidikan Kristen terhadap Suami Istri yang Mengalami  Konflik Keuangan.”   Skripsi S.Th., Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1997.
Thomason, James C. Common Sense About Your Family Dollars. Illinois: Victor Books, 1979.
Jackson, Dave & Neta. Memulai dan Membangun Keluarga Bersama. Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 2000.

Rabu, 07 November 2012

ETHOS KERJA


 A. Pendahuluan

Orang sering menganalisa dan menilai sebuah bangsa, kelompok masyarakat, atau profesi tertentu dalam hal bagaimana mereka bekerja sehari-hari, bagaimana produktivitas, system kerja, penghargaan waktu dan efesiensi kerja mereka. Kata yang sering dipakai dalam penilaian tersebut adalah “ethos kerja”. Ethos kerja juga sering dikaitkan dengan tingkat kemakmuran dan pendapatan perkapita sebuah bangsa atau masyarakat tertentu. Jika sebuah bangsa atau kelompok masyarakat punya tingkat pendapatan perkapita warganya kurang atau tidak makmur maka sering diduga bahwa penyebabnya ada pada ethos kerja.
Ethos kerja sudah dikategorikan sebagai budaya suatu bangsa dalam bekerja. Karena ia budaya, maka ia berjalan secara otomatis dalam sebuah kelompok sosial atau institusi.Pada skala kecil, misalnya dalam perusahaan, ethos kerja sering juga dipengaruhi oleh kepemimpinan pada perusahaan itu.
Dalam makalah ini  kami akan coba membahas tentang apa yang dimaksud dengan ethos kerja, benarkah ethos kerja mempengaruhi kemakmuran, dan apakah kepemimpinan berpengaruh juga pada ethos kerja.

B. Pengertian “Ethos Kerja
“Ethos kerja” terdiri dari dua kata yaitu “ethos dan kerja”. Supaya pengertiannya lebih mendalam maka kami menguraikan kata itu secara terpisah.
1. Ethos
            Para penulis tidak selalu sama ketika menuliskan kata “ethos”, ada yang menulis dengan “ethos” ada pula dengan “etos”. Sebagian besar ahli menggunakan kata “ethos”.
 K. Bertens memberi alasan mengapa kata itu perlu ditulis “ethos”, dengan mengatakan;

 “Ethos adalah salah satu kata Yunani kuno yang masuk ke dalam banyak bahasa modern, persis dalam bentuk seperti dipakai oleh bahasa aslinya dulu, dan karena itu sebaiknya di tulis juga sesuai dengan ejaan aslinya”[1].

 Adapun penulis yang menulis kata “ethos” dengan “etos” adalah Eka Dharmaputra, tetapi dia tidak memberi penjelasan mengapa dia memilih penulisan seperti itu[2]. Mungkin dia bermaksud “meng-Indonesiakan” kata itu, karena di dalam kamus bahasa Indonesia ditulis “etos”. Kami akan mengikuti penulisan “Ethos” dalam tulisan ini karena lebih banyak ahli yang menggunakannya.
Kata “ethos” merupakan asal-usul dari kata etika dan etis.. Dalam kamus Webster’s Collegiate kata Ethos diberi arti, “the distinguishing character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a person, group or institution”[3] ( cirri-ciri khas, perasaan, dasar moral atau keyakinan yang menuntun seseorang atau suatu kelompok atau lembaga). Dalam defenisi ini dapat kita lihat bahwa “ethos” juga bisa menunjuk kepada seseorang, tetapi itu jarang digunakan.
            Oxford Dictionary mengartikan ethos dengan “ characteristics of a community or of a culture, code of values by which a group or society live”[4] (ciri-ciri khas dari suatu komunitas atau kebudayaan, penanda nilai-nilai dimana sebuah kelompok atau masyarakat berada).
Dalam kamus bahasa Indonesia terbitan Depdikbud, kata etos diberi arti; “Pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, kebudayaan, sifat, nilai, dan adat istiadat, khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu golongan sosial dan masyarakat”[5]. Di sini kita bisa melihat lagi bahwa etos itu mempunyai arti yang dalam dan luas karena mencakup nilai, budaya, adat, watak dll.
            Ethos menurut Adolf Heuken adalah keseluruhan kesadaran akan yang baik dan jahat, pandangan dan sikap terhadap nilai, dasar dan pola tinggkah laku. Singkatnya, “ethos” adalah semangat yang mendasari cara hidup dan bertindak. Menurut dia ethos merupakan sesuatu yang terdapat dalam masyarakat dan kelompok profesi. Setiap masyarakat dan lingkungan kebudayaan memiliki ethos yang berwarna khusus4. Menurut Bertens karena ia merupakan suasana khas dalam suatu kelompok, bangsa atau system maka muncullah istilah ethos kerja, ethos profesi dll. Suasana khas ini dibentuk oleh banyak sikap dan sifat, dan dipahami dalam arti baik secara moral[6].
            Eka Dharmaputra, memberi penegasan bahwa ethos itu suatu system nilai yang kita pegangi secara fungsional. Fungsional karena benar-benar sesuatu yang mendasari, mengisi dan mengarahkan tindakan. Ethos itu adalah semacam nilai yang membudaya dalam sebuah masyarakat.[7]
Kalau kita lihat pengertian dari beberapa ahli dan kamus di atas, maka dapat ditemukan bahwa “ethos” itu adalah suatu system nilai, dalam suatu kelompok atau bangsa yang telah mengakar atau membudaya. Karena ia adalah suatu system nilai maka ia akan menjadi panduan bagi seseorang khususnya dalam sebuah kelompok atau institusi.  Persoalannya adalah, apakah system nilai standar yang ada dalam ethos ini? Kalau berbicara tentang nilai maka kita akan berhadapan dengan dari sudut mana kita memandangnya. Kalau kita memandang dari sudut Kristen maka kita akan melihat ethos dari sudut Kristen. Dalam kaitan dengan kerja maka di bawah ini kami akan mencoba membahas kerja dari sudut pandang Kristen.

2. Kerja

            Kata ini pasti tidak asing lagi bagi kita, bahkan kita semua telah tahu apa arti kata “kerja”. Bahasa Indonesia memberi arti demikian “………..
            Kalau “kerja” dihubungkan dengan Alkitab, maka akan kita temukan bahwa manusia dirancang Allah sebagai makluk yang bekerja. “Bekerja” adalah perintah Allah sejak manusia pertama diciptakan. Menurut Alkitab Allah yang menciptakan manusia segambar dengan diriNya adalah Allah yang bekerja Kitab Kejadian 1: 28,29, 2:15, Ul. 5:13 berisi tentang perintah kerja. Menurut Verkuyl bahwa kalimat dalam Kej. 2:5 “dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu” mempunyai arti yang dalam dalam etika kerja. Yaitu bahwa kerja masuk dalam penciptaan oleh Allah[8]. Lebih tegasnya ia mengatakan:
Bahwa manusia itu harus bekerja, agar dapat memenuhi keperluan-keperluan hidupnya, tidak hanya bertalian dengan dosa dan kutuk, yang menimpa bumi melainkan juga termasuk tata asali Allah”.[9]

            Menurut Eka bahwa kata yang dipakai dalam Kejadian 3:23 “mengusahakan tanah” adalah “abudah” (bhs. Ibrani), dan kata ini dalam bahasa Arab sama dengan kata “ibadah”. Itu berarti bekerja adalah “ibadah”. Dalam Dasa Titah disebutkan bahwa bekerja adalah merupakan perintah yaitu pada hukum ke-4. Ini berarti perintah suapaya manusia bekerja. Yang penting juga bahwa Yesus juga dulu sejak Dia dunia adalah sorang pekerja. Baik bekerja untuk pemenuhan hidupnya maupun bekerja dalam kerangka KeilahianNya[10].
  
Perintah untuk bekerja dalam Alkitab cukup banyak tetapi tidak berarti serta merta membuat orang Kristen memaknai kerja dengan baik.
Eka memaparkan bahwa sosiolog terkenal Max Weber telah menyimpulkan titik balik dari kemajuan dunia barat terjadi karena perubahan sikap yang mendasar (perubahan etos) mengenai waktu, kerja, dan materi. Weber menemukan bahwa perubahan itu terjadi karena sistem makna di dunia barat berakar pada kekristenan. Kekristenan yang didasari pada gerakan reformasi[11].
            Jadi kalau dua kata di atas digabungkan  menjadi “ethos kerja” maka bisa diartikan sebagai suasana khas (budaya) bekerja dalam suatu kelompok yang dilandasi pada suatu system nilai yang fungsional[12]. Dalam hal ini menyangkut moral yang baik (sikap dan sifat) yang telah membudaya di dalam menjalankan kerja.[13]Dengan demikian ethos kerja akan menjadi perilaku positif yang telah membudaya dalam suatu komunitas atau institusi yang menggerakkan atau memberi spirit kepada mereka dalam menjalankan kerja.
            Tidak terlalu berbeda dengan pandangan pakar etika Kristen di atas, pakar dalam bidang motivator di Indonesia yakni Jansen H. Sinamo menyatakan bahwa etos kerja ada 8, yaitu:
1. Kerja adalah rahmat, bekerja tulus penuh syukur.
2. Kerja adalah amanah, bekerja benar penuh tnggung jawab.
3. Kerja adalah panggilan, bekerja tuntas penuh integritas
4. Kerja adalah aktualisasi, bekerja keras penuh semangat
5. Kerja adalah ibadah, bekerja serius penuh kecintaan
6. Kerja adalah seni, bekerja cerdas penuh kreativitas
7. Kerja adalah kehormatan, bekerja tekun penuh keunggulan
8. Kerja adalah pelayanan, bekerja paripurna penuh kerendahan hati[14].    
            Di sini Jansen Sinamo mengungkapkan mengenai kerja dengan sangat baik dan banyak yang sesuai dengan pandangan kekristenan.

C. Pengaruh “Ethos Kerja” Terhadap Kemakmuran.
Pengaruh “Ethos kerja” menurut Eka meliputi penghargaan terhadap waktu, materi dan kerja itu sendiri. Dalam analisanya yang berfokus pada bangsa Indonesia, dia menjelaskan sebagai berikut;
1. Terhadap waktu. Dalam banyak hal di dalam masyarakat, khususnya di Indonesia waktu dianggap sebagai sesuatu yang siklis dan akan kembali lagi, jadi tidak perlu tergesa-gesa. Bahkan ada ungkapan “biar lambat asal selamat”. Ungkapan ini ada kesamaan dari ungkapan orang barat “slow but sure”. Walaupun ada kesamaan, tetapi dalam tindakan kelihatannya berbeda, karena orang Indonesia lebih menekankan pada “lambat”nya sedang barat menekankan pada “keberhasilannya”. Dari pemahaman terhadap waktu ini akan sangat menetukan juga produktivitas kerja itu[15].   
2. Terhadap materi. Dalam pandangan kebanyakan orang Indonesia materi itu semacam status yang harus dipamerkan. Dalam hal ini banyak harta yang tidak penting diharuskan untuk dimiliki dan uang dihamburkan untuk hal yang tidak penting itu.
3. Terhadap kerja, Kebanyakan orang kita menganggap bekerja itu sebagai beban dan karena itu melakukan jalan pintas cari nafkah misalnya; judi, korupsi dan lain-lain. Kita juga sangat kurang dalam disiplin kerja. Orang yang bekerja dengan baik hanya kalau diawasi, bila tidak maka kerja semaunya dan seenaknya. Atau lebih para lagi kalau pengawasnya juga tidak disiplin. 
            Kalau kita lihat tingkat kemakmuran atau income perkapita bangsa barat dan Jepang dengan Negara kita maka dapat dikatakan cukup jauh. Ini memang bisa dikaitkan dengan kekayaan alam bangsa tertentu, tapi bisa juga ditinjau dari produktivitasnya. Produktivitas itu menandai ethos kerja berjalan dengan baik. Persoalannya sekarang adalah jika memang pengaruh reformator menjadikan ethos kerja di Barat sangat baik, maka kenapa Jepang, Hongkong yang nota bene adalah negara2 yang tidak terpengaruh langsung oleh reformasi toh mempunyai ethos kerja yang baik. Dalam hal ini Eka berpendapat bahwa penyebabnya adalah segala sesuatu yang sekali telah menjadi ethos maka ia memang dapat ditularkan kepada yang lain, tanpa menularkan etika atau teologi yang mendasarinya. Tetapi juga bahwa di dalam masyarakat itu sendiri ada suatu system nilai yang mampu menopang dan mengakomodasi etos yang baru itu. Indonesiapun bisa tanpa harus mengakomodir teologi Kalvin atau kekristenan, karena yang perlu adalah tersedianya tatanan budaya untuk menopang dan mengakomodir etos kerja tersebut[16].
            Ethos kerja sangat berpengaruh pada tingkat kemakmuran sebuah kelompok masyarakat atau bangsa. Untuk mendukung pernyataan itu maka di sini kami tampilkan data-data pendukungnya. ……………..

D. Hubungan Kepemimpinan Dengan Ethos Kerja
Pengertian kepemimpinan……………………………, Kalau kepemimpinan adalah seni mempengaruhi orang, maka dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin sangat besar peranannya untuk menciptakan ethos kerja baik pada institusi pemerintah maupun swasta. Yang menjadi persoalan adalah jika pemimpinnya sendiri tidak memiliki ethos kerja. Jika pemimpinnya sendiri tidak mempunyai ethos kerja maka kecil kemungkinan sebuah institusi punya ethos kerja pula. Dengan demikian ethos kerja akan menjadi sebuah angan-angan saja, karena tidak akan pernah menjadi sebuah budaya. Sebagaimana dikatakan Eka di atas bahwa ethos kerja hanya bisa terwujud di Indonesia jika itu bisa ditularkan terus menerus kepada generasi berikutnya. Olehnya pemimpin sangat punya peran besar dalam hal ini. Contoh kecil sebuah kelompok atau institusi yang di dalamnya ada kepemimpinan. Adalah rumah tangga. Walaupun hanya institusi kecil tapi bisa berperan besar dalam menciptakan ethos kerja. Ayah dan ibu adalah pemimpin dalam rumah tangga. Peranan ayah atau ibu harus menunjukkan ethos kerja, mengajarkan dan mencotohkan terus menerus kepada generasinya dan pada saatnya nanti akan menjadi budaya dalam masyarakat.  
.             .
E. Kesimpulan
  1. Ethos kerja  adalah panggilan pada manusia untuk mewujudkannya. Karena ia adalah nilai dan moralitas yang baik Eka Dharmaputra, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, hlm dan khas dalam sebuah kelompok masyarakat atau institusi.
  2. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang punya ethos kerja dan bisa menciptakan ethos kerja di dalam institusi yang ia pimpin.
  3. Ethos kerja bisa bejalan kalau ada system nilai yang berproses terus menerus hingga menjadi budaya dalam masyarakat.
  4. Ethos kerja  erat kaitannya dengan kesejahteraan sebuah bangsa. Semakin kuat ethos kerjanya maka akan semakin tinggi hasilnya. Dalam hal ini perekonomian bangsa tersebut akan berjalan baik.


[1] .K.Bertens, Etika (Jakarta, PT. Gramedia, 1994) 224
[2] .Eka Dharmaputra, Etika Sederhana Untuk Semua; Bisnis Ekonomi dan Penatalayanan,( BPK Gunung Mulia, Cet. Ke-3 1978) 100  
[3] Merrian Webster’s collegiate Dictionary, Tent edition (Merrian Webter, Massachusetts, USA) 1993
[4] AS. Hornby, Oxford Advanced Dictionary of Current English, (Oxford University Press) 1974.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2 ( Balai Pustaka, Depdikbud,1994)
[6] K.Bertens, Etika, hlm. 224-225
[7] Eka Dharmaputra, Bisnis, Ekonomi dan Penatalaybanan, hlm.103
[8] J.Verkuyl, Etika Kristen; Sosial ekonomi (Jakarta:BPK Gunung Mulia, cet. Ke-3, 1978)19-23
[9] Ibid, hlm.24
[10] Eka Dahrmaputra, Sosial, ekonomi dan penatalayan, hlm. 100-101
[11] Eka, Ibid hlm. 103-104
[12] Ibid, hlm.111
[13] Adolf Heuken, Ensiklopedi Etika Medis dari A-Z (Jakarta, Yayasan Cipta Loka Caraka, 1979) hlm.44-45
[14] Jansen H. Sinamo, Http://www
[15] Eka Dharmaputra, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, hlm.111
[16]. Ibid, hlm.110-112