Selasa, 03 Maret 2015

Kepemimpinan (LEADERSHIP)

Peter Scazzero mengatakan bahwa seperti apa para pemimpinnya seperti itu juga gerejanya.[1] Saya akan memakai kalimat yang dimodifikasi lebih luas yaitu seperti apa para pemimpinnya seperti itu juga orang-orang yang dipimpinnya. Lanjut Scazzero mengatakan, “Kunci dari kepemimpinana rohani yang sehat banyak bergantung pada kehidupan batiniah pemimpinnya (kesehatan emosional dan spiritual) daripada kemahiran, karunia-karunia, ataupun pengalaman pemimpinnya.” Karena itu penekanan pembinaan kita hari ini adalah bagaimana kita sebagai pemimpin rohani di kampus-kampus dapat memiliki kepemimpinan yang memiliki kesehatan emosional dan spiritual sehingga dapat berpengaruh bagi orang-orang yang Tuhan percayakan kepada kita.
Saya tertarik dengan tulisan Samuel B. Hakh ketika menjelaskan tentang Kepemimpinan, Kuasa dan Wibawa.

“Dalam kepemimpinan Kristen, sumber kuasa atau wibawa adalah kebenaran Firman Allah dan Roh Kudus yang hidup dalam diri sang pemimpin. Orang  yang tidak hidup dari sumber wibawa atau kuasa ini mestinya tidak dipercayakan menjadi pemimpin dalam persekutuan umat Allah (gereja). Karena memang kuasa atau wibawa seorang pemimpin gereja tidak berpusat pada kelicikan dan kecerdasan sang pemimpin, tetapi oleh kuasa Firman Allah. Sang pemimpin mempengaruhi orang lain, bukan oleh kekuatannya secara pribadi atau oleh trik-triknya yang meyakinkan, melainkan oleh kehidupan yang disinari dan dimampukan oleh Roh Kudus. Memang kemampuan atau skill seseorang perlu dipertimbangkan tetapi hal itu bukan yang terutama. Sebab seorang pemimpin spiritual tidak hanya dituntut kecerdasannya tetapi lebih dari itu kedewasaan secara spiritual.”[2]

Lanjut ia berkata: “Dengan kedewasaan spiritual yang bersumber dari Firman dan Roh Kudus itu, sang pemimpin memiliki wibawa dan kepribadian yang kuat untuk mempengaruhi anggota kelompoknya. Pemimpin yang baik tidak hanya menyuruh pengikutnya berkorban tetapi ia sendiri harus ikut berkorban. Dengan berbuat demikian sang pemimpin memberikan keteladanan dan memiliki wibawa terhadap kelompoknya . . . .”[3]
Betapa sulitnya menemukan pemimpin yang memberikan keteladanan dan memiliki wibawa dan kuasa yang dapat menolong orang-orang yang dipimpinnya untuk mengalami transformasi hidup seperti yang diuraikan olah Hakh di atas.  Dengan nada yang sama diungkap oleh John Stott, “Dunia masa kini ditandai oleh kelangkaan pemimpin berkualitas . . . . Dengan meminjam metafora Tuhan Yesus, kita ini bagaikan ‘kawana domba tanpa gembala’, sementara para pemimpin kita sering tampil seperti ‘si buta yang memimpin orang buta’.”[4]
Kehadiran kita di sini merupakan sebuah stimulan untuk menjawab tantangan kelangkaan tersebut. Kiranya Tuhan menemukan dari antara kita orang-orang yang siap untuk Tuhan bentuk menjadi pemimpin-pemimpin yang berpengaruh bagi generasi ini. Sebuah kepemimpinan yang berpengaruh adalah seorang pemimpin yang memiliki ‘suatu perbauran antara kualitas alami dan kualitas spiritual’ atau dengan kata lain, antara  bakat alami dan pemberian spiritual.[5] Dengan perbauran tersebut diharapkan ia dapat menjadi seorang yang memiliki Kepemimpinan Transformatif.[6]
Karakteristik apakah yang dibutuhkan bagi Kepemimpinan Transformatif? Kita akan mempelajari  dari kehidupan Nehemia. Kepemimpinan Transformatif Nehemia[7], antara lain adalah:
1.      Memiliki Visi Kepemimpinan yang Tajam. Visi Nehemia sebagai seorang pemimpin tampak dalam penglihatan dan pandangan yang jauh ke depan berkenaan dengan rencana dan tujuan yang ingin dicapainya, yaitu pembangunan tembok Yerusalem. Sebagai seorang pemimpin, ia mempunyai ketetapan hati yang bulat dan tekad yang utuh dan hal itulah yang sangat mempengaruhi kerja dan motivasi bawahannya (Neh. 2:11-20).
2.      Memiliki Pengaruh Positif. Nehemia adalah seorang pemimpin rohani yang menonjol dalam Alkitab dengan pola kepemimpinan yang berpengaruh dan berwibawa. Ketika Nehemia berdiri di hadapan bangsa Israel dan berusaha memimpin mereka untuk membangun kembali tembok Yerusalem, tampak dengan jelas betapa besar pengaruh Nehemia (Neh. 3:1-32).
3.      Memiliki Interpersonal Skill. Pertama, Nehemia memiliki fleksibilitas atas kemampuan dan pengetahuan yang memenuhi standar yang dibutuhakn untuk bidang yang akan ia lakukan. Kedua, Nehemia adalah seorang organisatoris yang mampu mengkoordinir dengan pendekatan-pendekatan yang sistematis dan terukur. Ketiga, Nehemia seorang motivator yang baik. Keempat, Nehemia seorang komunikator dan fasilitator. Kelima, Nehemia adalah seorang yang jujur dan bertanggungjawab.
4.      Memiliki Sikap Pemberdaya. Sikap pemberdayaan dalam diri Nehemia tampak secara jelas ketika ia memberdayakan para pemimpin-pemimpin lain (mis: Bupati di seberang sungai Efrat). Nehemia mengarahkan pekerjaannya pada Tuhan dengan memberikan tanggungjawab kepada orang yang dapat dipercayai (delegating), sehingga ia memiliki ciri-ciri seorang pemimpin, yaitu: love, enthuciasthic, attitude, desire, expancy, responsibility, serve, honest, inisiatif, prayer.
5.      Memiliki Strategi Kepemimpinan yang Terukur. Nehemia mengkoordinasikan kekuatan rakyat, memberikan dorongan dan sekaligus perasaan tenang kepada umat. Ia bisa dan mau mempercayai orang-orang bawahannya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Kita akan melihat perspektif lain dari kepemimpinan menurut John Stott. Lima unsur esensial tentang kepemimpinan:[8]
1.      Visi yang jelas (Amsal 29:18; Kis. 2:17)
Visi adalah suatu ihwal melihat, suatu ihwal mendapat persepsi tentang sesuatu yang imajinatif, yang memadu pemahaman  yang mendasar tentang situasi masa kini dengan pandangan yang menjangkau jauh ke depan. Visi sebagai ketidakpuasan yang mendalam tentang kebagaimanaan masa kini selaku suatu fakta, dibarengi dengan pandangan yang amat tajam tentang kebagaimanaan yang selayaknya selaku suatu kemungkinan. Awalnya adalah sebagai amarah yang pada tempatnya atas ‘status quo’ yang berlaku, yang kemudian berkembang menjadi usaha yang serius untuk mencari alternatifnya. Itu terlihat  dengan jelas pada sikap Yesus dalam pelayanan-Nya. Ada penyakit dan maut, dan kelaparan di tengah-tengah bangsa, itu tak berterima bagi-Nya, sebab dianggap-Nya tak sesuai dengan maksud asali Allah. Itulah sebabnya hati-Nya iba melihat korban-korbannya. Amarah dan iba hati merupakan suatu kombinasi yang maha kuat. Dua-duanya esensial bagi visi, dan karena itu juga bagi kepemimpinan.
Sesuatu yang besar tak mungkin tercapai, kalau dibaliknya tak ada suatu impian yang besar, suatu visi yang besar. Apa yang kita impikan buat bangsa, gereja, kampus, keluarga atau pribadi kita?
2.      Kerajinan Bekerja. Orang tidak cukup mempunyai visi, ia juga harus orang yang berbuat. Tukang-tukang mimpi harus berubah menjadi pemikir, pembuat rencana dan pekerja, dan itu menuntut kerelaan bersusah payah atau kemauan membanting tulang. Thomas Alva Edison, penemu tenaga listrik itu, yang mendefinisikan jenius itu sebagai 1% inspirasi (ilham) dan 99% pespirasi (keringat). Semua pemimpin besar, demikian juga seniman-seniman besar, menggarisbawahi kebenaran ucapan ini. Di balik kebolehan mereka yang kelihatan seperti datang dengan sendirinya itu, terdapat pengendalian diri yang paling ketat dan menjelimet. Contoh yang baik adalah pemain piano, Paderewski, yang termashyur itu. Setiap hari ia berlatih berjam-jam. Tidak jarang ia harus mengulangi sebaris not balok sampai lima puluh kali untuk dapat memainkannya dengan sempurna. Ratu Vicoria pernah berkata kepadanya, seusai mendengar permainan pianonya yang memukau, “Tuan Paderewski, Anda seorang jenius.” “Itu mungkin jadi, Nyonya,” jawabnya, “tapi sebelum menjadi orang jenius, aku harus membanting tulang.
Jadi, impian dan realitas, minat yang mengebu-gebu dan keterampilan praktis, itu harus disatupadukan. Tanpa impian dan visi, usaha kita akan kehilangan arah dan semangat; tapi tanpa kerja keras dan proyek-proyek nyata, impian itu akan menguap.
3.      Ketekunan yang penuh ketabahan
Tak dapat disangkal bahwa ketekunan merupakan salah satu kualitas kepemimpinan yang paling utama. Memimpikan impian dan mendapat penglihatan itu beda dengan menuangkan impian atau visi ke dalam kenyataan. Apalagi jika harus ditambah dengan unsur ketiga, yaitu ketekunan yang diperlukan untuk bisa mengatasi perlawanan yang bakal datang. Sebab, bagaimanapun juga perlawanan akan datang. Segera sesuatu kegiatan yang baik dimulai, kekuatan-kekuatan yang menentangnya pasti akan muncul. Namun, sifat pekerjaan Allah ialah akan semakin bertumbuh subur kalau semakin menemukan perlawanan. Itulah keanehannya yang menakjubkan itu. Peraknya akan semakin halus dan besinya akan menjadi besi baja.
Seorang pemimpin yang sejati memiliki kelenturan mental  guna menampung dampak kegagalan, ketabahan guna mengatasi kelelahan dan kelesuan, serta hikmat yang seperti yang dikatakan John Mott, mampu mengubah batu sandungan menjadi batu loncatan. Sebab, disamping visi dan kerajinan bekerja, pemimpin yang sejati itu memiliki karunia ketekunan sebagai tambahannya.
Ketekunan bukan sinonim dengan keras kepala. Pemimpin yang sejati tidak tuli terhadap kritikan. Sebaliknya, ia dengar-dengaran kepada kritikan serta menimbang-nimbangnya, dan tidak jarang mengubah programmnya senada dengan kritikan itu. Namun, keyakinannya yang asasi, takkan kunjung bergoyang karena kritikan. Keyakinan bahwa ia merasa dirinya dipanggil Allah, takkan kunjung dikhianatinya. Entah perlawanan apa pun yang timbul karenanya, atau pengorbanan apa pun yang dituntut daripadanya, ia takkan mundur, melainkan tetap bertahan dengan tekun.
4.      Pelayanan yang rendah hati (Mrk. 10:42-45)
Bagi pengikut-pengikut Yesus, menjadi pemimpin itu tidak sinonim menjadi tuan. Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Otoritas yang Tuhan berikan bukanlah otoritas pemimpin-penguasa, melainkan atas kerendahan hati pemimpin-hamba. Dengan otoritas itu, ia memimpin bukan dengan kekuasaan melainkan atas kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan persuasi.
Tugas para pemimpin Kristen adalah melayani, dan mereka yang melayani bukan kepentingan diri sendiri, melainkan kepentingan orang lain. (Flp. 2:4). Dengan melayani orang lain kita diam-diam mengakui harkat orang-orang selaku manusia. Pelayanan bukanlah batu loncatan untuk keagungan melainkan pelayanan itulah keagungan, satu-satunya jenis keagungan yang otentik.[9]
Dalam semua penekanan Kristiani atas pelayanan, murid Kristus itu hanya berusaha mengikuti dan merefleksikan Guru-nya. Sebab, meskipun ia Tuhan atas semua manusia, Ia menjadi pelayan bagi semua. Dengan mengikatkan kain penyeka kaki di pinggang-Nya, Ia bersimpuh untuk membasuh kaki para rasul. Kini Ia meminta kita melakukan yang sama seperti dilakukan-Nya, untuk mengenakan jubah kerendahan hati, dan saling melayani dalam kasih. Tidak ada kepemimpinan Kristiani yang dapat disebut otentik, kalau bukan ditandai oleh roh kerendahan hati dan pelayanan dengan sukacita.
5.      Disiplin Baja
Setiap visi mempunyai kecenderungan untuk memudar. Kerja keras yang dimulai dengan semangat yang berapi-api, dapat dengan mudah berubah menjadi kerja rutin yang hampa tanpa makna. Penderitaan dan rasa kesepian mulai menunjukkan pengaruhnya. Pemimpin merasa dirinya tidak dihargai dan mulai menjadi jenuh. Cita-cita Kristiani tentang pelayanan yang rendah hati kedengaran indah dalam teori, tapi dalam kenyataan terbukti tidak praktis.
Pertanda terakhir seorang pemimpin Kristiani adalah disiplin, bukan saja disiplin dalam arti umum sebagai kemampuan mengendalikan nafsu-nafsu serta mengattur waktu dan tenaga sendiri, melainkan dan istimewa dalam artinya yang khusus, yaitu disiplin untuk berharap hanya pada Allah. Pemimpin Kristiani sadar akan kelemahannya. Ia tahu betapa besar tugas yang diembannya dan betapa kuat pihak yang menentangnya. Namun ia tahu juga betapa tak berhingga kekayaan kasih karunia Allah. Teladan Tuhan Yesus adalah Ia secara teratur menjauhkan diri dari khalayak ramai untuk sendirian bersama Allah di suatu tempat yang sepi dan memperoleh kekuatan baru.
Hanya mereka yang mendisiplinkan dirinya untuk mencari wajah Allah, yang dapat menjaga visinya tetap bercahaya-cahaya, hanya mereka yang hidup di hadapan salib Kristus, yang api batinnya tetap dinyalakan kembali dan takkan kunjung padam.



[1]Peter Scazzero, Gereja yang Sehat Secara Emosional. (Batam: Gospel, 2005) 27.
[2]Samuel B. Hakh, “Kepemimpinan: Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Perjanjian Baru,” Setia 1/04 (2004) 1-15.

[3]Hakh, “Kepemimpinan 1-15.
[4]John Stott, Isu-isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2005) 459-460.
[5]Ibid. 461.
[6]Pengertian transformasi dalam Roma 12:2 adalah pembaharuan pikiran yang membuka kesadaran sehingga memberi pengertian dan melahirkan persepsi-persepsi dalam diri seseorang. Pembaharuan inilah yang mengubah pola pikir seseorang. (Gernaida Kr. Pakpahan, “Kepemimpinan Nehemia: Suatu Kepemimpinan Transformatif,” Setia 1/04 [2004] 16-31.)
[7]Ibid. 16-31.
[8]Stott, Isu-isu Global 461-479.
[9]Perkataan T.W. Manson. Ia menjelaskan tentang perbedaan konsep dunia dan kerajaan Allah tentang arti pemimpin yang melayani. Bagi Yesus, pelayanan mempunyai  tujuan dalam dirinya sendiri.