Kepemimpinan
(LEADERSHIP)
Peter Scazzero mengatakan bahwa seperti apa para pemimpinnya seperti itu
juga gerejanya.[1] Saya
akan memakai kalimat yang dimodifikasi lebih luas yaitu seperti apa para pemimpinnya seperti itu juga orang-orang yang
dipimpinnya. Lanjut Scazzero mengatakan, “Kunci dari kepemimpinana rohani
yang sehat banyak bergantung pada kehidupan batiniah pemimpinnya (kesehatan
emosional dan spiritual) daripada kemahiran, karunia-karunia, ataupun
pengalaman pemimpinnya.” Karena itu penekanan pembinaan kita hari ini adalah
bagaimana kita sebagai pemimpin rohani di kampus-kampus dapat memiliki
kepemimpinan yang memiliki kesehatan emosional dan spiritual sehingga dapat
berpengaruh bagi orang-orang yang Tuhan percayakan kepada kita.
Saya tertarik dengan tulisan Samuel B. Hakh ketika menjelaskan tentang
Kepemimpinan, Kuasa dan Wibawa.
“Dalam
kepemimpinan Kristen, sumber kuasa atau wibawa adalah kebenaran Firman Allah
dan Roh Kudus yang hidup dalam diri sang pemimpin. Orang yang tidak hidup dari sumber wibawa atau
kuasa ini mestinya tidak dipercayakan menjadi pemimpin dalam persekutuan umat
Allah (gereja). Karena memang kuasa atau wibawa seorang pemimpin gereja tidak
berpusat pada kelicikan dan kecerdasan sang pemimpin, tetapi oleh kuasa Firman
Allah. Sang pemimpin mempengaruhi orang lain, bukan oleh kekuatannya secara
pribadi atau oleh trik-triknya yang meyakinkan, melainkan oleh kehidupan yang
disinari dan dimampukan oleh Roh Kudus. Memang kemampuan atau skill seseorang perlu dipertimbangkan
tetapi hal itu bukan yang terutama. Sebab seorang pemimpin spiritual tidak
hanya dituntut kecerdasannya tetapi lebih dari itu kedewasaan secara
spiritual.”[2]
Lanjut ia
berkata: “Dengan kedewasaan spiritual yang bersumber dari Firman dan Roh Kudus
itu, sang pemimpin memiliki wibawa dan kepribadian yang kuat untuk mempengaruhi
anggota kelompoknya. Pemimpin yang baik tidak hanya menyuruh pengikutnya
berkorban tetapi ia sendiri harus ikut berkorban. Dengan berbuat demikian sang
pemimpin memberikan keteladanan dan memiliki wibawa terhadap kelompoknya . . .
.”[3]
Betapa sulitnya menemukan pemimpin yang memberikan keteladanan dan
memiliki wibawa dan kuasa yang dapat menolong orang-orang yang dipimpinnya
untuk mengalami transformasi hidup seperti yang diuraikan olah Hakh di atas. Dengan nada yang sama diungkap oleh John
Stott, “Dunia masa kini ditandai oleh kelangkaan pemimpin berkualitas . . . .
Dengan meminjam metafora Tuhan Yesus, kita ini bagaikan ‘kawana domba tanpa
gembala’, sementara para pemimpin kita sering tampil seperti ‘si buta yang
memimpin orang buta’.”[4]
Kehadiran kita di sini merupakan sebuah stimulan untuk menjawab tantangan
kelangkaan tersebut. Kiranya Tuhan menemukan dari antara kita orang-orang yang
siap untuk Tuhan bentuk menjadi pemimpin-pemimpin yang berpengaruh bagi generasi
ini. Sebuah kepemimpinan yang berpengaruh adalah seorang pemimpin yang memiliki
‘suatu perbauran antara kualitas alami dan kualitas spiritual’ atau dengan kata
lain, antara bakat alami dan pemberian
spiritual.[5] Dengan
perbauran tersebut diharapkan ia dapat menjadi seorang yang memiliki
Kepemimpinan Transformatif.[6]
Karakteristik apakah yang dibutuhkan bagi Kepemimpinan Transformatif?
Kita akan mempelajari dari kehidupan
Nehemia. Kepemimpinan Transformatif Nehemia[7],
antara lain adalah:
1.
Memiliki Visi Kepemimpinan yang Tajam. Visi Nehemia
sebagai seorang pemimpin tampak dalam penglihatan dan pandangan yang jauh ke
depan berkenaan dengan rencana dan tujuan yang ingin dicapainya, yaitu
pembangunan tembok Yerusalem. Sebagai seorang pemimpin, ia mempunyai ketetapan
hati yang bulat dan tekad yang utuh dan hal itulah yang sangat mempengaruhi
kerja dan motivasi bawahannya (Neh. 2:11-20).
2.
Memiliki Pengaruh Positif. Nehemia adalah seorang
pemimpin rohani yang menonjol dalam Alkitab dengan pola kepemimpinan yang berpengaruh
dan berwibawa. Ketika Nehemia berdiri di hadapan bangsa Israel dan berusaha memimpin mereka
untuk membangun kembali tembok Yerusalem, tampak dengan jelas betapa besar
pengaruh Nehemia (Neh. 3:1-32).
3.
Memiliki Interpersonal
Skill. Pertama, Nehemia memiliki fleksibilitas atas kemampuan dan
pengetahuan yang memenuhi standar yang dibutuhakn untuk bidang yang akan ia
lakukan. Kedua, Nehemia adalah
seorang organisatoris yang mampu mengkoordinir dengan pendekatan-pendekatan
yang sistematis dan terukur. Ketiga, Nehemia
seorang motivator yang baik. Keempat, Nehemia
seorang komunikator dan fasilitator. Kelima,
Nehemia adalah seorang yang jujur dan bertanggungjawab.
4.
Memiliki Sikap Pemberdaya. Sikap pemberdayaan dalam
diri Nehemia tampak secara jelas ketika ia memberdayakan para pemimpin-pemimpin
lain (mis: Bupati di seberang sungai Efrat). Nehemia mengarahkan pekerjaannya
pada Tuhan dengan memberikan tanggungjawab kepada orang yang dapat dipercayai (delegating), sehingga ia memiliki
ciri-ciri seorang pemimpin, yaitu: love,
enthuciasthic, attitude, desire, expancy, responsibility, serve, honest,
inisiatif, prayer.
5.
Memiliki Strategi Kepemimpinan yang Terukur. Nehemia
mengkoordinasikan kekuatan rakyat, memberikan dorongan dan sekaligus perasaan
tenang kepada umat. Ia bisa dan mau mempercayai orang-orang bawahannya sesuai
dengan kemampuan masing-masing.
Kita akan melihat perspektif lain dari kepemimpinan menurut John Stott. Lima unsur esensial
tentang kepemimpinan:[8]
1.
Visi yang jelas (Amsal 29:18; Kis. 2:17)
Visi adalah suatu ihwal melihat, suatu ihwal mendapat persepsi tentang
sesuatu yang imajinatif, yang memadu pemahaman
yang mendasar tentang situasi masa kini dengan pandangan yang menjangkau
jauh ke depan. Visi sebagai ketidakpuasan yang mendalam tentang kebagaimanaan
masa kini selaku suatu fakta, dibarengi dengan pandangan yang amat tajam
tentang kebagaimanaan yang selayaknya selaku suatu kemungkinan. Awalnya adalah
sebagai amarah yang pada tempatnya atas ‘status quo’ yang berlaku, yang
kemudian berkembang menjadi usaha yang serius untuk mencari alternatifnya. Itu
terlihat dengan jelas pada sikap Yesus
dalam pelayanan-Nya. Ada
penyakit dan maut, dan kelaparan di tengah-tengah bangsa, itu tak berterima
bagi-Nya, sebab dianggap-Nya tak sesuai dengan maksud asali Allah. Itulah
sebabnya hati-Nya iba melihat korban-korbannya. Amarah dan iba hati merupakan
suatu kombinasi yang maha kuat. Dua-duanya esensial bagi visi, dan karena itu
juga bagi kepemimpinan.
Sesuatu yang besar tak mungkin tercapai, kalau dibaliknya tak ada suatu
impian yang besar, suatu visi yang besar. Apa yang kita impikan buat bangsa,
gereja, kampus, keluarga atau pribadi kita?
2.
Kerajinan Bekerja. Orang tidak cukup mempunyai visi, ia
juga harus orang yang berbuat. Tukang-tukang mimpi harus berubah menjadi
pemikir, pembuat rencana dan pekerja, dan itu menuntut kerelaan bersusah payah
atau kemauan membanting tulang. Thomas Alva Edison, penemu tenaga listrik itu,
yang mendefinisikan jenius itu sebagai 1% inspirasi (ilham) dan 99% pespirasi
(keringat). Semua pemimpin besar, demikian juga seniman-seniman besar,
menggarisbawahi kebenaran ucapan ini. Di balik kebolehan mereka yang kelihatan
seperti datang dengan sendirinya itu, terdapat pengendalian diri yang paling
ketat dan menjelimet. Contoh yang baik adalah pemain piano, Paderewski, yang
termashyur itu. Setiap hari ia berlatih berjam-jam. Tidak jarang ia harus
mengulangi sebaris not balok sampai lima
puluh kali untuk dapat memainkannya dengan sempurna. Ratu Vicoria pernah
berkata kepadanya, seusai mendengar permainan pianonya yang memukau, “Tuan
Paderewski, Anda seorang jenius.” “Itu mungkin jadi, Nyonya,” jawabnya, “tapi
sebelum menjadi orang jenius, aku harus membanting tulang.
Jadi, impian dan realitas, minat yang mengebu-gebu dan keterampilan
praktis, itu harus disatupadukan. Tanpa impian dan visi, usaha kita akan
kehilangan arah dan semangat; tapi tanpa kerja keras dan proyek-proyek nyata,
impian itu akan menguap.
3.
Ketekunan yang penuh ketabahan
Tak dapat disangkal bahwa ketekunan merupakan salah satu kualitas
kepemimpinan yang paling utama. Memimpikan impian dan mendapat penglihatan itu
beda dengan menuangkan impian atau visi ke dalam kenyataan. Apalagi jika harus
ditambah dengan unsur ketiga, yaitu ketekunan yang diperlukan untuk bisa
mengatasi perlawanan yang bakal datang. Sebab, bagaimanapun juga perlawanan
akan datang. Segera sesuatu kegiatan yang baik dimulai, kekuatan-kekuatan yang
menentangnya pasti akan muncul. Namun, sifat pekerjaan Allah ialah akan semakin
bertumbuh subur kalau semakin menemukan perlawanan. Itulah keanehannya yang
menakjubkan itu. Peraknya akan semakin halus dan besinya akan menjadi besi
baja.
Seorang pemimpin yang sejati memiliki kelenturan mental guna menampung dampak kegagalan, ketabahan
guna mengatasi kelelahan dan kelesuan, serta hikmat yang seperti yang dikatakan
John Mott, mampu mengubah batu sandungan menjadi batu loncatan. Sebab,
disamping visi dan kerajinan bekerja, pemimpin yang sejati itu memiliki karunia
ketekunan sebagai tambahannya.
Ketekunan bukan sinonim dengan keras kepala. Pemimpin yang sejati tidak
tuli terhadap kritikan. Sebaliknya, ia dengar-dengaran kepada kritikan serta
menimbang-nimbangnya, dan tidak jarang mengubah programmnya senada dengan
kritikan itu. Namun, keyakinannya yang asasi, takkan kunjung bergoyang karena
kritikan. Keyakinan bahwa ia merasa dirinya dipanggil Allah, takkan kunjung
dikhianatinya. Entah perlawanan apa pun yang timbul karenanya, atau pengorbanan
apa pun yang dituntut daripadanya, ia takkan mundur, melainkan tetap bertahan
dengan tekun.
4.
Pelayanan yang rendah hati (Mrk. 10:42-45)
Bagi pengikut-pengikut Yesus, menjadi pemimpin itu tidak sinonim menjadi
tuan. Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Otoritas yang
Tuhan berikan bukanlah otoritas pemimpin-penguasa, melainkan atas kerendahan
hati pemimpin-hamba. Dengan otoritas itu, ia memimpin bukan dengan kekuasaan
melainkan atas kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan
melainkan persuasi.
Tugas para pemimpin Kristen adalah melayani, dan mereka yang melayani
bukan kepentingan diri sendiri, melainkan kepentingan orang lain. (Flp. 2:4). Dengan
melayani orang lain kita diam-diam mengakui harkat orang-orang selaku manusia.
Pelayanan bukanlah batu loncatan untuk keagungan melainkan pelayanan itulah
keagungan, satu-satunya jenis keagungan yang otentik.[9]
Dalam semua penekanan Kristiani atas pelayanan, murid Kristus itu hanya
berusaha mengikuti dan merefleksikan Guru-nya. Sebab, meskipun ia Tuhan atas
semua manusia, Ia menjadi pelayan bagi semua. Dengan mengikatkan kain penyeka
kaki di pinggang-Nya, Ia bersimpuh untuk membasuh kaki para rasul. Kini Ia
meminta kita melakukan yang sama seperti dilakukan-Nya, untuk mengenakan jubah
kerendahan hati, dan saling melayani dalam kasih. Tidak ada kepemimpinan
Kristiani yang dapat disebut otentik, kalau bukan ditandai oleh roh kerendahan
hati dan pelayanan dengan sukacita.
5.
Disiplin Baja
Setiap visi mempunyai kecenderungan untuk memudar. Kerja keras yang
dimulai dengan semangat yang berapi-api, dapat dengan mudah berubah menjadi kerja
rutin yang hampa tanpa makna. Penderitaan dan rasa kesepian mulai menunjukkan
pengaruhnya. Pemimpin merasa dirinya tidak dihargai dan mulai menjadi jenuh.
Cita-cita Kristiani tentang pelayanan yang rendah hati kedengaran indah dalam
teori, tapi dalam kenyataan terbukti tidak praktis.
Pertanda terakhir seorang pemimpin Kristiani adalah disiplin, bukan saja
disiplin dalam arti umum sebagai kemampuan mengendalikan nafsu-nafsu serta
mengattur waktu dan tenaga sendiri, melainkan dan istimewa dalam artinya yang
khusus, yaitu disiplin untuk berharap hanya pada Allah. Pemimpin Kristiani
sadar akan kelemahannya. Ia tahu betapa besar tugas yang diembannya dan betapa
kuat pihak yang menentangnya. Namun ia tahu juga betapa tak berhingga kekayaan
kasih karunia Allah. Teladan Tuhan Yesus adalah Ia secara teratur menjauhkan
diri dari khalayak ramai untuk sendirian bersama Allah di suatu tempat yang
sepi dan memperoleh kekuatan baru.
Hanya mereka yang mendisiplinkan dirinya untuk mencari wajah Allah, yang
dapat menjaga visinya tetap bercahaya-cahaya, hanya mereka yang hidup di
hadapan salib Kristus, yang api batinnya tetap dinyalakan kembali dan takkan
kunjung padam.
[1]Peter
Scazzero, Gereja yang Sehat Secara
Emosional. (Batam: Gospel, 2005) 27.
[2]Samuel B. Hakh, “Kepemimpinan: Suatu Tinjauan dari
Sudut Pandang Perjanjian Baru,” Setia 1/04
(2004) 1-15.
[3]Hakh,
“Kepemimpinan 1-15.
[4]John
Stott, Isu-isu Global: Menantang
Kepemimpinan Kristiani. (Jakarta :
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2005) 459-460.
[5]Ibid.
461.
[6]Pengertian transformasi
dalam Roma 12:2 adalah pembaharuan pikiran yang membuka kesadaran sehingga
memberi pengertian dan melahirkan persepsi-persepsi dalam diri seseorang.
Pembaharuan inilah yang mengubah pola pikir seseorang. (Gernaida Kr. Pakpahan,
“Kepemimpinan Nehemia: Suatu Kepemimpinan Transformatif,” Setia 1/04 [2004] 16-31.)
[7]Ibid.
16-31.
[8]Stott,
Isu-isu Global 461-479.
[9]Perkataan
T.W. Manson. Ia menjelaskan tentang perbedaan konsep dunia dan kerajaan Allah
tentang arti pemimpin yang melayani. Bagi Yesus, pelayanan mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri.