A.
Pendahuluan
Orang sering menganalisa
dan menilai sebuah bangsa, kelompok masyarakat, atau profesi tertentu dalam hal
bagaimana mereka bekerja sehari-hari, bagaimana produktivitas, system kerja,
penghargaan waktu dan efesiensi kerja mereka. Kata yang sering dipakai dalam
penilaian tersebut adalah “ethos kerja”. Ethos kerja juga sering dikaitkan
dengan tingkat kemakmuran dan pendapatan perkapita sebuah bangsa atau
masyarakat tertentu. Jika sebuah bangsa atau kelompok masyarakat punya tingkat pendapatan
perkapita warganya kurang atau tidak makmur maka sering diduga bahwa penyebabnya
ada pada ethos kerja.
Ethos kerja sudah dikategorikan sebagai budaya suatu bangsa dalam bekerja.
Karena ia budaya, maka ia berjalan secara otomatis dalam sebuah kelompok sosial
atau institusi.Pada skala kecil, misalnya dalam perusahaan, ethos kerja sering juga
dipengaruhi oleh kepemimpinan pada perusahaan itu.
Dalam makalah ini kami akan coba
membahas tentang apa yang dimaksud dengan ethos kerja, benarkah ethos kerja
mempengaruhi kemakmuran, dan apakah kepemimpinan berpengaruh juga pada ethos
kerja.
B. Pengertian
“Ethos Kerja”
“Ethos kerja”
terdiri dari dua kata yaitu “ethos dan kerja”. Supaya pengertiannya lebih
mendalam maka kami menguraikan kata itu secara terpisah.
1. Ethos
Para
penulis tidak selalu sama ketika menuliskan kata “ethos”, ada yang menulis
dengan “ethos” ada pula dengan “etos”. Sebagian besar ahli menggunakan kata “ethos”.
K. Bertens memberi alasan mengapa kata itu
perlu ditulis “ethos”, dengan mengatakan;
“Ethos adalah salah satu kata
Yunani kuno yang masuk ke dalam banyak bahasa modern, persis dalam bentuk
seperti dipakai oleh bahasa aslinya dulu, dan karena itu sebaiknya di tulis
juga sesuai dengan ejaan aslinya”[1].
Adapun penulis yang menulis kata “ethos”
dengan “etos” adalah Eka Dharmaputra, tetapi dia tidak memberi penjelasan
mengapa dia memilih penulisan seperti itu[2].
Mungkin dia bermaksud “meng-Indonesiakan” kata itu, karena di dalam kamus
bahasa Indonesia ditulis “etos”. Kami akan mengikuti penulisan “Ethos” dalam
tulisan ini karena lebih banyak ahli yang menggunakannya.
Kata “ethos” merupakan asal-usul dari kata etika dan etis..
Dalam kamus Webster’s Collegiate kata Ethos diberi arti, “the distinguishing
character, sentiment, moral nature, or guiding beliefs of a person, group or
institution”[3] ( cirri-ciri
khas, perasaan, dasar moral atau keyakinan yang menuntun seseorang atau suatu
kelompok atau lembaga). Dalam defenisi ini dapat kita lihat bahwa “ethos” juga
bisa menunjuk kepada seseorang, tetapi itu jarang digunakan.
Oxford Dictionary mengartikan ethos
dengan “ characteristics of a community or of a culture, code of values by
which a group or society live”[4]
(ciri-ciri khas dari suatu komunitas atau kebudayaan, penanda nilai-nilai
dimana sebuah kelompok atau masyarakat berada).
Dalam kamus bahasa Indonesia terbitan Depdikbud, kata etos diberi
arti; “Pandangan hidup yang khas dari suatu golongan sosial, kebudayaan, sifat,
nilai, dan adat istiadat, khas yang memberi watak kepada kebudayaan suatu
golongan sosial dan masyarakat”[5].
Di sini kita bisa melihat lagi bahwa etos itu mempunyai arti yang dalam dan
luas karena mencakup nilai, budaya, adat, watak dll.
Ethos menurut Adolf Heuken adalah
keseluruhan kesadaran akan yang baik dan jahat, pandangan dan sikap terhadap
nilai, dasar dan pola tinggkah laku. Singkatnya, “ethos” adalah semangat yang
mendasari cara hidup dan bertindak. Menurut dia ethos merupakan sesuatu yang
terdapat dalam masyarakat dan kelompok profesi. Setiap masyarakat dan
lingkungan kebudayaan memiliki ethos yang berwarna khusus4. Menurut Bertens
karena ia merupakan suasana khas dalam suatu kelompok, bangsa atau system maka
muncullah istilah ethos kerja, ethos profesi dll. Suasana khas ini dibentuk
oleh banyak sikap dan sifat, dan dipahami dalam arti baik secara moral[6].
Eka
Dharmaputra, memberi penegasan bahwa ethos itu suatu system nilai yang kita
pegangi secara fungsional. Fungsional karena benar-benar sesuatu yang mendasari,
mengisi dan mengarahkan tindakan. Ethos itu adalah semacam nilai yang membudaya
dalam sebuah masyarakat.[7]
Kalau kita lihat pengertian dari beberapa ahli dan kamus di atas,
maka dapat ditemukan bahwa “ethos” itu adalah suatu system nilai, dalam suatu
kelompok atau bangsa yang telah mengakar atau membudaya. Karena ia adalah suatu
system nilai maka ia akan menjadi panduan bagi seseorang khususnya dalam sebuah
kelompok atau institusi. Persoalannya
adalah, apakah system nilai standar yang ada dalam ethos ini? Kalau berbicara
tentang nilai maka kita akan berhadapan dengan dari sudut mana kita
memandangnya. Kalau kita memandang dari sudut Kristen maka kita akan melihat
ethos dari sudut Kristen. Dalam kaitan dengan kerja maka di bawah ini kami akan
mencoba membahas kerja dari sudut pandang Kristen.
2. Kerja
Kata ini pasti tidak asing lagi bagi
kita, bahkan kita semua telah tahu apa arti kata “kerja”. Bahasa Indonesia memberi
arti demikian “………..
Kalau “kerja” dihubungkan dengan
Alkitab, maka akan kita temukan bahwa manusia dirancang Allah sebagai makluk
yang bekerja. “Bekerja” adalah perintah Allah sejak manusia pertama diciptakan.
Menurut Alkitab Allah yang menciptakan manusia segambar dengan diriNya adalah
Allah yang bekerja Kitab Kejadian 1: 28,29, 2:15, Ul. 5:13 berisi tentang perintah
kerja. Menurut Verkuyl bahwa kalimat dalam Kej. 2:5 “dan belum ada orang untuk
mengusahakan tanah itu” mempunyai arti yang dalam dalam etika kerja. Yaitu
bahwa kerja masuk dalam penciptaan oleh Allah[8].
Lebih tegasnya ia mengatakan:
Bahwa manusia itu harus bekerja, agar dapat memenuhi
keperluan-keperluan hidupnya, tidak hanya bertalian dengan dosa dan kutuk, yang
menimpa bumi melainkan juga termasuk tata asali Allah”.[9]
Menurut Eka bahwa kata yang dipakai
dalam Kejadian 3:23 “mengusahakan tanah” adalah “abudah” (bhs. Ibrani), dan
kata ini dalam bahasa Arab sama dengan kata “ibadah”. Itu berarti bekerja
adalah “ibadah”. Dalam Dasa Titah disebutkan bahwa bekerja adalah merupakan
perintah yaitu pada hukum ke-4. Ini berarti perintah suapaya manusia bekerja.
Yang penting juga bahwa Yesus juga dulu sejak Dia dunia adalah sorang pekerja.
Baik bekerja untuk pemenuhan hidupnya maupun bekerja dalam kerangka
KeilahianNya[10].
Perintah untuk bekerja dalam Alkitab cukup banyak tetapi tidak
berarti serta merta membuat orang Kristen memaknai kerja dengan baik.
Eka memaparkan bahwa sosiolog terkenal Max Weber telah menyimpulkan
titik balik dari kemajuan dunia barat terjadi karena perubahan sikap yang
mendasar (perubahan etos) mengenai waktu, kerja, dan materi. Weber menemukan
bahwa perubahan itu terjadi karena sistem makna di dunia barat berakar pada kekristenan.
Kekristenan yang didasari pada gerakan reformasi[11].
Jadi kalau dua kata di atas digabungkan menjadi “ethos kerja” maka bisa diartikan
sebagai suasana khas (budaya) bekerja dalam suatu kelompok yang dilandasi pada
suatu system nilai yang fungsional[12].
Dalam hal ini menyangkut moral yang baik (sikap dan sifat) yang telah membudaya
di dalam menjalankan kerja.[13]Dengan
demikian ethos kerja akan menjadi perilaku positif yang telah membudaya dalam
suatu komunitas atau institusi yang menggerakkan atau memberi spirit kepada
mereka dalam menjalankan kerja.
Tidak terlalu berbeda dengan
pandangan pakar etika Kristen di atas, pakar dalam bidang motivator di
Indonesia yakni Jansen H. Sinamo menyatakan bahwa etos kerja ada 8, yaitu:
1. Kerja adalah
rahmat, bekerja tulus penuh syukur.
2. Kerja adalah
amanah, bekerja benar penuh tnggung jawab.
3. Kerja adalah
panggilan, bekerja tuntas penuh integritas
4. Kerja adalah
aktualisasi, bekerja keras penuh semangat
5. Kerja adalah
ibadah, bekerja serius penuh kecintaan
6. Kerja adalah
seni, bekerja cerdas penuh kreativitas
7. Kerja adalah
kehormatan, bekerja tekun penuh keunggulan
8. Kerja adalah
pelayanan, bekerja paripurna penuh kerendahan hati[14].
Di sini Jansen Sinamo mengungkapkan
mengenai kerja dengan sangat baik dan banyak yang sesuai dengan pandangan
kekristenan.
C. Pengaruh “Ethos
Kerja” Terhadap Kemakmuran.
Pengaruh “Ethos
kerja” menurut Eka meliputi penghargaan terhadap waktu, materi dan kerja itu
sendiri. Dalam analisanya yang berfokus pada bangsa Indonesia, dia menjelaskan
sebagai berikut;
1. Terhadap
waktu. Dalam banyak hal di dalam masyarakat, khususnya di Indonesia waktu
dianggap sebagai sesuatu yang siklis dan akan kembali lagi, jadi tidak perlu
tergesa-gesa. Bahkan ada ungkapan “biar lambat asal selamat”. Ungkapan ini ada
kesamaan dari ungkapan orang barat “slow but sure”. Walaupun ada kesamaan,
tetapi dalam tindakan kelihatannya berbeda, karena orang Indonesia lebih
menekankan pada “lambat”nya sedang barat menekankan pada “keberhasilannya”.
Dari pemahaman terhadap waktu ini akan sangat menetukan juga produktivitas
kerja itu[15].
2. Terhadap
materi. Dalam pandangan kebanyakan orang Indonesia materi itu semacam status
yang harus dipamerkan. Dalam hal ini banyak harta yang tidak penting diharuskan
untuk dimiliki dan uang dihamburkan untuk hal yang tidak penting itu.
3. Terhadap
kerja, Kebanyakan orang kita menganggap bekerja itu sebagai beban dan karena
itu melakukan jalan pintas cari nafkah misalnya; judi, korupsi dan lain-lain.
Kita juga sangat kurang dalam disiplin kerja. Orang yang bekerja dengan baik
hanya kalau diawasi, bila tidak maka kerja semaunya dan seenaknya. Atau lebih
para lagi kalau pengawasnya juga tidak disiplin.
Kalau kita lihat tingkat kemakmuran
atau income perkapita bangsa barat dan Jepang dengan Negara kita maka dapat
dikatakan cukup jauh. Ini memang bisa dikaitkan dengan kekayaan alam bangsa
tertentu, tapi bisa juga ditinjau dari produktivitasnya. Produktivitas itu
menandai ethos kerja berjalan dengan baik. Persoalannya sekarang adalah jika
memang pengaruh reformator menjadikan ethos kerja di Barat sangat baik, maka
kenapa Jepang, Hongkong yang nota bene adalah negara2 yang tidak terpengaruh langsung
oleh reformasi toh mempunyai ethos kerja yang baik. Dalam hal ini Eka berpendapat
bahwa penyebabnya adalah segala sesuatu yang sekali telah menjadi ethos maka ia
memang dapat ditularkan kepada yang lain, tanpa menularkan etika atau teologi
yang mendasarinya. Tetapi juga bahwa di dalam masyarakat itu sendiri ada suatu
system nilai yang mampu menopang dan mengakomodasi etos yang baru itu.
Indonesiapun bisa tanpa harus mengakomodir teologi Kalvin atau kekristenan,
karena yang perlu adalah tersedianya tatanan budaya untuk menopang dan
mengakomodir etos kerja tersebut[16].
Ethos kerja sangat berpengaruh pada
tingkat kemakmuran sebuah kelompok masyarakat atau bangsa. Untuk mendukung
pernyataan itu maka di sini kami tampilkan data-data pendukungnya. ……………..
D. Hubungan
Kepemimpinan Dengan Ethos Kerja
Pengertian kepemimpinan……………………………, Kalau kepemimpinan adalah seni
mempengaruhi orang, maka dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin sangat besar
peranannya untuk menciptakan ethos kerja baik pada institusi pemerintah maupun
swasta. Yang menjadi persoalan adalah jika pemimpinnya sendiri tidak memiliki
ethos kerja. Jika pemimpinnya sendiri tidak mempunyai ethos kerja maka kecil
kemungkinan sebuah institusi punya ethos kerja pula. Dengan demikian ethos
kerja akan menjadi sebuah angan-angan saja, karena tidak akan pernah menjadi
sebuah budaya. Sebagaimana dikatakan Eka di atas bahwa ethos kerja hanya bisa
terwujud di Indonesia jika itu bisa ditularkan terus menerus kepada generasi
berikutnya. Olehnya pemimpin sangat punya peran besar dalam hal ini. Contoh
kecil sebuah kelompok atau institusi yang di dalamnya ada kepemimpinan. Adalah
rumah tangga. Walaupun hanya institusi kecil tapi bisa berperan besar dalam
menciptakan ethos kerja. Ayah dan ibu adalah pemimpin dalam rumah tangga.
Peranan ayah atau ibu harus menunjukkan ethos kerja, mengajarkan dan
mencotohkan terus menerus kepada generasinya dan pada saatnya nanti akan
menjadi budaya dalam masyarakat.
.
.
E. Kesimpulan
- Ethos kerja adalah panggilan pada manusia untuk mewujudkannya. Karena ia adalah nilai dan moralitas yang baik Eka Dharmaputra, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, hlm dan khas dalam sebuah kelompok masyarakat atau institusi.
- Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang punya ethos kerja dan bisa menciptakan ethos kerja di dalam institusi yang ia pimpin.
- Ethos kerja bisa bejalan kalau ada system nilai yang berproses terus menerus hingga menjadi budaya dalam masyarakat.
- Ethos kerja erat kaitannya dengan kesejahteraan sebuah bangsa. Semakin kuat ethos kerjanya maka akan semakin tinggi hasilnya. Dalam hal ini perekonomian bangsa tersebut akan berjalan baik.
[1] .K.Bertens, Etika (Jakarta, PT. Gramedia, 1994) 224
[2] .Eka Dharmaputra, Etika Sederhana Untuk Semua; Bisnis Ekonomi
dan Penatalayanan,( BPK Gunung Mulia, Cet. Ke-3 1978) 100
[4] AS. Hornby, Oxford Advanced Dictionary of Current English, (Oxford
University Press) 1974.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-2 ( Balai Pustaka,
Depdikbud,1994)
[6] K.Bertens, Etika, hlm. 224-225
[7] Eka Dharmaputra, Bisnis, Ekonomi dan Penatalaybanan, hlm.103
[8] J.Verkuyl, Etika Kristen; Sosial ekonomi (Jakarta:BPK Gunung
Mulia, cet. Ke-3, 1978)19-23
[9] Ibid, hlm.24
[10] Eka Dahrmaputra, Sosial, ekonomi dan penatalayan, hlm.
100-101
[11] Eka, Ibid hlm. 103-104
[12] Ibid, hlm.111
[13] Adolf Heuken, Ensiklopedi Etika Medis dari A-Z (Jakarta,
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1979) hlm.44-45
[14] Jansen H. Sinamo, Http://www
[15] Eka Dharmaputra, Bisnis, Ekonomi dan Penatalayanan, hlm.111
[16]. Ibid, hlm.110-112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar